Manusia adalah makhluk pembelajar. Apapun bidangnya, apapun perannya, secara normal, manusia dapat terus bertumbuh belajar dari pengalaman, membaguskan hasil pada fase berikutnya. Pepatah Arab mengatakan, اطلب العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ tuntutlah, kejarlah ilmu dari ayunan (buaian) sampai liang lahat. Lebih dari itu, Rasulullaah Saw. mengategorikan manusia terbaik adalah mereka yang terlibat dalam dunia belajar-mengajar:
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «خَيرُكُم من تعلَّمَ القرآنَ وعلَّمَهُ»
Usman bin ‘Affān -raḍiyallāhu ‘anhu- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
Al-Quran sendiri adalah kitab yang memuat banyak sekali disiplin ilmu dan bisa jadi sumber pengembangan berbagai inovasi, pemikiran, dan solusi kehidupan. Sebaik-baik masyarakat yang pernah ada di muka bumi adalah masyarakat di masa keemasan Islam, di mana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, baik eksak maupun non-eksak/sosial kemanusiaan. Masyarakat ini, tak pelak, adalah masyarakat Qurani yang menisbatkan kehidupan mereka pada nafas belajar-mengajar al-Quran. Bukan dalam artian sempit hanya sekedar belajar cara membaca, cara menghafal dan mempelajari hukum-hukum di dalamnya, tapi sampai menarik kandungannya untuk diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari dan berbagai disimplin ilmu.
Rasulullah Saw. memulai amanat menyampaikan risalah samawi pada usia 40 tahun. Tugas itu kemudian selesai pada usia 63 tahun. Catatan shirah ini mengajarkan bahwa rentang usia tersebut justru masa-masa emas bagi manusia untuk menajamkan proses belajar-mengajarnya yang diiringi produktifitas. Karenanya, tidak tepat jika mereka yang berada di usia tersebut menganggap sudah selesai kesempatan bagusnya untuk belajar -dan mengajar.