Tersebutlah kisah, situasi di mana orang tua mengambil keputusan: menitipkan anak pada keluarga. Keluarga yang dititipkan itu keluarga yang sangat luar biasa dekat. Baik, sangat peduli, dan terkait sarana, insya Allah sangat tercukupi.
Kisah-kisah tentang terpisahnya anak dari kedua orangtua terekam dalam Al-Quran dan Shirah. Nabi Musa a.s., Nabi Ismail a.s., dan juga Rasulullah Saw. sendiri yang di masa batitanya dititipkan ke keluarga Bani Sa’ad. Semua dalam skenario yang baik. Tujuan baik.
Meski begitu, nyatanya, anak ini tetap saja merasa dipisahkan dari orangtuanya, dia tidak melihat sisi lainnya: dititipkan pada keluarga dekat yang peduli dan dengan tujuan yang baik.
Anak ini menceritakan bagaimana suasana kejiwaannya pada masa-masa terpisah itu. Tiap hari dia berusaha menghadirkan kembali wajah dan sosok ibu-bapaknya. Memastikan semua tentang ibu bapaknya masih utuh dalam ingatannya, dalam hatinya.
Hari demi hari berjalan, dan semakin lama, kadang ia mulai terlupa satu demi satu aspek yang mungkin sangat kecil tentang ibu bapaknya.
Tiap kali ia merasa ada ingatan yang hilang, ia merasa sangat bersalah dan jahat pada ibu-bapaknya.
Penuturan anak ini menjadi semacam cambuk dalam diri sendiri. Jika tulusnya cinta anak seperti itu pada orang tuanya, maka bagaimana sepatutnya cinta ciptaan (makhluk) pada Penciptanya (Khaliq?).
Ketika hati menjadi lalai, melupakan-Nya, menyepelekan ke-SerbaMaha-Nya, untuk kemudian memilih tingkah laku dan mengambil keputusan-keputusan yang Ia murkai, alangkah terlalunya. Wa nastaghfirullahul azhim.
Terlalu santai hingga ringan berbuat dosa, melupakan aspek tentang-Nya Yang Maha Keras Siksanya. Memilih tenggelam dalam dosa dan sudah merasa terlanjur kepalang basah, tak ada lagi peluang berubah; melupakan aspek ke-MahaPengampun-an-Nya.
Terlalu takut hingga menzalimi diri sendiri mengulang-ulangi ibadah karena takut salah, memaksa diri memahami semua aspek fikih sampai melebihi tingkat ulama zaman dulu (karena belum ada akses internet), melupakan aspek tentang-Nya Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Aqidah yang benar adalah menghadirkan aspek tentang Sang Khaliq secara utuh, sehingga mengantarkan pemilik keyakinan itu pada situasi penuh damai:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (Q.S. Al-Ahqaf: 13)
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (2: 38)
Anak tersebut, jika kehilangan sebagian aspek ibu-bapaknya, mungkin akan berpengaruh pada bagaimana ia menyusun dan menempatkan dirinya yang pas dalam relasi dengan ibu-bapaknya. Secara umum, mungkin berpengaruh juga pada cara pandang dia kepada kehidupan. Itu sebabnya Allah Swt. menitipkan ke dalam jiwanya sense kebutuhan untuk tetap utuh mengingat.
Sebenarnya, manusia juga dilengkapi sense rasa butuh mengingat aspek Sang Khaliq secara utuh. Terbukti, jika membaca ayat-ayat-Nya, mempelajari dan mendakat pada risalah-Nya, hati manusia menjadi lebih adem. Sebaliknya, menjauh dari-Nya, melupakan-Nya, menjadikan hati gelisah, hampa dan seperti kehilangan tempat berpijak.
Itu bagi yang masih menyadari reaksi-reaksi sehat jiwanya. Pada suatu kondisi, ketika manusia sudah terlalu jauh, melakukan dosa-dosa besar yang betul-betul sudah membuat Allah murka, maka sense itu bisa tertutupi laksana sensor yang tertimbun dalam-dalam di bawah tanah. Tak terlihat cahayanya, tak terdengar suaranya.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46)